Sekarang sedang viral cerita tentang kesehatan mental seorang ibu. ini dipicu dari kisah seorang ibu yang tega melukai bahkan salah seorang anaknya terbunuh olehnya. Dia berkata tidak ingin membuat anaknya menderita hidup seperti dia dan ingin disayang suami. Para ibu melihat hal ini justru banyak merasa iba termasuk saya. Being a mom is not my comfort zone. Jika wanita lain memang mengidam-idamkan menikah dan segera memiliki keturunan juga sangat antusias dengan anak-anak, namun saya tidak.
Sejak dulu saya tidak suka anak-anak, tapi childrenfree bukan pilihan saya sejak memutuskan menikah. Karena tujuan sy menikah ya hanya beribadah dan menggenapkan agama maka dikasih dan tidaknya anak menurut saya itu ya siklus aja. Kalau bahasa ibu-ibu jaman layangan putus "it's not my dream" namun semua yg bukan mimpi justru jadi kenyataan and i'm not regret about that. Kalau kata kanda, justru itu seninya hidup ada yg kita harapkan belum hadir namun yg kita gak impikan (terkadang itu impian orang lain) justru datang ke kita. Disanalah letak ujian dan tantangan itu ada, jika semua berjalan sesuai apa yg kita mau...semudah itu.. lalu apa guna syurga sebagai hadiah?
Saya belum menjadi ibu yg baik. Mungkin saya dosen yg enerjik, banyak sharing ilmu, asik di ajak ngobrol. Saya juga istri yg supportive, teman yg full of caring namun sebagai ibu nilai saya masih SPBU.."mulai dai NOL". Saya hampir tiap hari ngomel-ngomel ke anak gak jarang saya berteriak ke mereka dan beberapa kali saya memukul mereka meski tidak dalam kategori membahayakan dan tidak berbekas.
Minggu-minggu lalu saya sangat marah ke mereka karena tidak mampunya mereka diajak bekerjasama untuk tenang beberapa jam saja selama saya mengajar online. Mereka berisik, saling bercanda dan diselingi bertengkar sepanjang hari. Padahal sejak pagi mereka telah diberitahu bahwa saya ada kelas hari ini. keadaan ini membuat saya emosi dan meneriaki mereka seperti orang tidak waras. Setelahnya saya masuk kamar dan masih berteriak-teriak sambil menangis. Kanda masuk kamar dan mengelus punggung saya hingga saya tenang dan berhenti menangis. Setelahnya saya diam selama 2 hari tidak berkata apa-apa ke anak-anak. Kemudian kembali memaafkan saat saya ingat bahwa ibulah yg mengajarkan anaknya menjadi pemaaf. Karena ALLAHpun memaafkan kesalahan kita meski selalu diulangi maka ibu yg tidak mau menjadikan anaknya pendendam harus terus memaafkan meski kesalahan mereka berulang-ulang. Namun kesadaran seperti itu gak selalu otomatis hadir krn ibu pun lelah.
Maka jika ada yang bilang childfree itu adalah salah satu kita buat anti-aging ya mungkin benar. Namun, apakah hidup kita selalu ingin seperti ibu tiri snow white yang terobsesi menjadi orang tercantik sedunia sepanjang masa?? atau seperti benjamin button yang akan terus muda saat usia semakin bertambah?? Ingat Lydia Kandau pun menua dan menggendut. maka saat keberadaan anak menjadikan kerutan kita bertambah, kantung mata menghitam dan ukuran badan tidak kembali seperti saat masih gadis belia. Biarlah... dan Terimalah.. karena dibalik amarah selalu ada cengiran gagah yang meng-ademkan hati, diantara penat ada bala bantuan ipang yang selalu siap sedia, dan... oh iya saat tulisan ini di publish anggota baru keluarga sudah hadir Sang laksamana... Bayi berlesung pipi dalam meskipun ayahnya bukan Afgan... Senyum lesung pipinya selalu meluruhkan kesal-kesal dihati... walau tak jarang tangisnya membuat emosi kembali meninggi.
Ibu harus waras, dan ibu boleh salah.. semoga segala sesuatu yang dilakukan ibu dengan penuh kesalahan ini masih menjadi nilai ibadah dan menyelamatkan keluarga ini dari siksa akherat.. Itulah tujuan masih bertahan dengan berbagai jenis anak-anak. Karena anak tidak hanya berkah tapi terkadang ujian yang menjadikan kita kuat dan pantas untuk mendapat piala keridhoan Yang Memberinya.
Dithia210223